Welcome, Selamat Datang, Sugeng Rawuh

Sunday, January 26, 2014

Aku Ingin Memejamkan Mata Sejenak

Aku Ingin Memejamkan Mata Sejenak

Jam di tanganku menunjukkan pukul 3.00. Pagi itu gelap, berkabut, dan hawa dingin merasuk sampai ke persendian tulang. Kami hanya bisa duduk berdempetan satu sama lain dengan kondisi yang sama – sama mengenaskan. Muka kami terlihat pucat dengan bibir mengering, dan tubuh kami bertiga menggigil karena hawa dingin yang mencapai level beku. Ini diluar dugaan, sungguh tidak pernah disangka, suhu udara Gunung Raung yang terletak di Jawa Timur ini bisa mencapai level nol derajat. Tidak ada buku maupun literatur yang menunjukkan hal ini. Satu hal yang aku tahu, gunung ini terkenal angker dan tidak seharusnya kami melanggar aturan-aturan yang ada di sini.
Beberapa jam yang lalu sebelum sampai di tempat terkutuk dimana jarum kompas berputar ke segala penjuru, kami berjalan menuju puncak gunung dengan melewati jalan yang biasa dilewati oleh pendaki – pendaki lain, jalan yang rutenya sudah jelas. Kata “tersesat” tidak sekelebat pun melintas dalam pikiran kami. Itulah hal yang menyebabkan kami bertindak seenaknya. Ya, karena belenggu tugas kuliah dan dosen killer yang serasa terlepas ketika menginjakkan kaki di Gunung Raung. Kami seperti anak kecil yang dilepas ke taman bermain, berbuat sesuka hati dan seenaknya.
Kami banyak berkata-kata kotor dan jorok dengan pikiran mesum menjalar dalam otak kami berlima. Tidak hanya itu, kami juga berteriak – teriak menantang penghuni Gunung Raung. 
“Hei Setan, Jin, Demit, Kuntilanak, Penunggu Gunung Raung, ayo kemari, temenin kami minum!”
Kami berteriak bergantian dengan menenggak beberapa gelas Martini Vermouth, wine terkenal yang Rino curi dari koleksi ayahnya sendiri.
Perjalanan ke puncak, kami lanjutkan dengan sedikit sempoyongan disebabkan oleh pengaruh wine.
“Kalian harus mati!!!”  
Suara samar – samar itu mendadak terdengar di telinga kami. Suara yang terdengar jauh tapi sangat jelas, dengan diselingi dengan suara tawa yang menggelegar. Suara khas setan yang sering aku dengar di banyak film-film horor. Kontan, bulu kuduk kami berdiri mendengarnya.
Tak lama kemudian, dua gadis kecil berbaju putih lusuh dan berwarna kecokelatan tiba-tiba berlari kearah kami dari balik pohon beringin yang cabang-cabang pohonnya menjalar sampai ke bawah itu.
Mereka sampai di depan kami kemudian memegang tanganku. Tangan mereka sedingin es. Mereka merengek-rengek minta tolong.
“Kakak... Ayah kami marah – marah,”kata mereka berdua hampir bersamaan
“Kata ayah kami, kami belum boleh minum minuman yang kakak tawarkan tadi, padahal kelihatannya enak. Sekarang kami boleh minta Kak? Mumpung Ayah lagi pergi,”
Kami berlima melihat mereka dengan tatapan penasaran. Siapakah mereka sebenarnya? Sampai kami melihat, kedua anak itu menjulurkan lidahnya ke depan, semakin lama lidahnya semakin panjang mencapai tanah, taring di mulut mereka tumbuh memanjang ke bawah, kupingnya membesar seperti kuping kelelawar dan kedua tangan mereka yang dari tadi memegangku berubah menjadi tulang belulang.
Aku menghempaskan tangan kedua anak setan itu dan berlari secepat kilat diikuti keempat temanku.
Berlari dan terus berlari sejauh yang kami bisa dengan penerangan hanya dari redupnya cahaya bulan, menerobos semak belukar dan akhirnya berhenti karena kelelahan, ngos – ngosan dengan keringat sebiji jangung membasahi tubuh.
Sayup sayup, terdengar langkah kaki. Tidak hanya langkah kaki beberapa orang saja, melainkan puluhan orang yang berjalan. Mereka berbondong – bondong menuju tempat kami. Perasaan lega luar biasa ini sempat kami rasakan sampai akhirnya kami yang berdiam diri di tempat ini tidak melihat siapapun, kecuali keranda mayat kuno yang tiba – tiba telah berada di depan mata waktu itu. Anehnya, kaki kami sama sekali tidak bisa digerakkan, seperti ada paku-paku besar yang menancap dengan kuatnya pada kaki ini.
Angin yang berhembus kencang, menyibak kain batik penutup keranda dan menerbangkannya. Sesosok mayat yang tertidur di dalamnya, terbungkus kain kafan, secara tiba – tiba duduk dan menghadapkan mukanya yang menjijikkan ke arah kami. Belatung – belatung berjalan merayap di sekitar wajahnya membuat kami berlima mau muntah. Ada yang memasuki mata kanan dan keluar dari mata kiri, begitupun sebaliknya. Ada juga yang keluar dari hidung, puluhan keluar dari mulut dan merayap lagi di sekitar wajah dan menutupi hampir seluruh wajah si mayat.
Mayat itu mengeluarkan suara yang tersendat-sendat karena belatung yang memenuhi mulutnya.
“Mau dong, minuman kerasnya... Ayok kita minum bersama!!!” 
Terbukanya mulut si mayat menyebabkan belatung – belatung itu terlempar, sontak wajah dan tubuh kami, sekarang penuh dengan belatung yang menjijikkan.
Kami memuntahkan isi perut masing – masing seketika itu juga yang ternyata sudah bercampur dengan belatung, darah dan nanah yang kami pun tidak bisa berpikir dari mana datangnya itu semua.
Seetelah terasa habis, apa yang ada di perut kami, paku – paku yang semenjak tadi seperti menancap pada kaki, seolah – olah sudah menghilang. Dengan sisa – sisa tenaga yang ada, kami berusaha lari  menjauhi si setan terkutuk itu.

“Aduh, tolong!!!”
Kami mendengar suara Rino, yang merintih kesakitan. Rasa takut dan ngeri yang masih ada, memaksa kami untuk tidak memperdulikan suara itu, sampai akhirnya kami berhenti di suatu tempat dan sadar, bahwa Rino sudah tidak bersama kami lagi. Dia jatuh dan tertinggal dibelakang.
Kami berdebat, akan kembali ke belakang dan mencarinya atau mencoba mencari jalan pulang saja. Hampir saja, Dodi dan Sandy beradu jotos, kalau saja Leo yang berbadan paling besar tidak melerai mereka berdua.
Akhirnya kami sepakat untuk kembali ke tempat Roni terjatuh. Pelan tapi pasti, kami menyusuri jalanan gelap di gunung ini dengan cahaya lampu senter yang sudah mulai redup menandakan tenaga baterai sudah mulai habis.
“Kalian tega meninggalkanku sendirian disini!” Roni berteriak dari kejauhan, memaki – maki kami dengan tetap duduk bersimpuh di tanah.
Aku agak sedikit penasaran dengan tempat ini. Aku sendiri lupa apakah kami melewati tempat ini atau tidak tadi. Pikiran yang bukan – bukan ini, aku tampik jauh – jauh. Aku, Dodi, Sandy, dan Leo menghampiri Roni yang duduk bersimpuh karena luka di betisnya. Kakinya sobek tergores batu tajam. Luka menganga lebar dan darah terus mengalir membanjiri kakinya. Kami berusaha mengobati luka yang terlampau parah itu.
Tiga puluh menit berlalu dan kami pun selesai memperban betis Roni. Tapi sayang, dia tidak bisa berjalan dengan kondisi seperti itu. Kami meminta Leo yang berbadan paling besar, untuk menggendong Roni di belakang. Dia tidak keberatan asal diberi uang yang banyak kalau kami sudah keluar dari sini.
Aku, Dody dan Sandy berjalan di depan untuk membuka jalan sedangkan Leo di belakang kami.
“Ron, tubuhmu kok semakin lama semakin berat?” keluh Leo di belakang kami.
Kami serentak menengok kebelakang dan sangat terkejut ketika melihat yang digendong Leo bukan Roni, tapi sesuatu yang lain. Tangan, badan, dan kakinya berbulu lebat, hitam dan busuk baunya. Matanya merah sebesar bola tenis melotot kearah kami. Mulutnya lebar sampai kebelakang kepalanya.
Dan Leopun tersungkur ke tanah tertimpa makhluk siluman itu. Untuk kesekian kalinya, kami lari tunggang langgang tanpa tahu arah. Berlari dengan diiringi suara dari makhluk siluman tadi yang menggelegar seperti petir.
"Kalian manusia sombong... Manusia hina... Durhaka... Kalian tidak akan keluar dari tempat ini. Kalian akan menjadi penghuni tempat ini selamanya bersama kamu"
Meskipun gendang telinga kami seakan mau pecah, kamu terus berlari dan berlari, sampai akhirnya kami bertiga tersesat di tempat terkutuk ini.
Aku melihat tempat itu dengan tatapan nanar. Hanya ada pohon – pohon besar yang menjulang tinggi dan semak belukar yang terlihat. Suara-suara mengerikan makhluk penunggu gunung ini masih terdengar jelas ditelinga kami. Suara wanita menangis dan tawa cekikikan anak – anak kecil masih membuat bulu kudukku merinding meskipun dengan tenaga yang hampir habis. Termasuk suara Roni dan Leo yang menyayat hati. Suara kesakitan karena siksaan yang sangat hebat.
Aku sudah tidak berdaya, tubuhku lemas, jantungku melemah, nafasku semakin menipis. Hawa dingin ini membuat otak dan tubuhku mati rasa. Beberapa menit yang lalu, aku masih bisa mendengar hembusan nafas yang semakin melemah dari Dodi dan Sandy yang berada disampingku. Namun sekarang, aku tidak bisa mendengarnya lagi. Aku melirik tubuh mereka, kaku seperti es, diam tak bergerak.
Aku mencoba berteriak dengan tenaga tersisa untuk meminta pertolongan, tapi mulutku sudah tidak bisa terbuka lagi karena membeku. Aku sudah tidak kuat lagi. Aku hanya bisa berharap, semoga besok pagi ada pertolongan yang datang. Sekarang, aku hanya ingin tidur dan memejamkan mata sejenak.
Sekian

No comments:

Post a Comment

Menerima segala komentar, saran, masukan dan apapun yang berkaitan dengan tulisan, Agar lebih bisa mengimprove isi dari tulisan...
Ayok... Ramai ramai pada komen ya, agar tetap bisa exist dan lebih semangat update.

Like and Comment Di sini