Aku Ingin Memejamkan Mata Sejenak
Jam di tanganku
menunjukkan pukul 3.00. Pagi itu gelap, berkabut, dan hawa dingin merasuk
sampai ke persendian tulang. Kami hanya bisa duduk berdempetan satu sama lain
dengan kondisi yang sama – sama mengenaskan. Muka kami terlihat pucat dengan
bibir mengering, dan tubuh kami bertiga menggigil karena hawa dingin yang
mencapai level beku. Ini diluar dugaan, sungguh tidak pernah disangka, suhu
udara Gunung Raung yang terletak di Jawa Timur ini bisa mencapai level nol
derajat. Tidak ada buku maupun literatur yang menunjukkan hal ini. Satu hal
yang aku tahu, gunung ini terkenal angker dan tidak seharusnya kami melanggar
aturan-aturan yang ada di sini.
Beberapa jam yang lalu sebelum sampai di tempat terkutuk
dimana jarum kompas berputar ke segala penjuru, kami berjalan menuju puncak
gunung dengan melewati jalan yang biasa dilewati oleh pendaki – pendaki lain,
jalan yang rutenya sudah jelas. Kata “tersesat” tidak sekelebat pun melintas
dalam pikiran kami. Itulah hal yang menyebabkan kami bertindak seenaknya. Ya, karena belenggu tugas kuliah dan dosen killer yang serasa terlepas ketika
menginjakkan kaki di Gunung Raung. Kami seperti anak kecil yang dilepas ke
taman bermain, berbuat sesuka hati dan seenaknya.
Kami banyak berkata-kata kotor dan jorok dengan pikiran
mesum menjalar dalam otak kami berlima. Tidak hanya itu, kami juga berteriak – teriak menantang penghuni
Gunung Raung.
“Hei Setan, Jin, Demit, Kuntilanak, Penunggu Gunung
Raung, ayo kemari, temenin kami minum!”
Kami berteriak bergantian dengan menenggak beberapa gelas
Martini Vermouth, wine
terkenal yang Rino curi dari koleksi ayahnya sendiri.
Perjalanan ke puncak, kami lanjutkan dengan sedikit
sempoyongan disebabkan oleh pengaruh wine.
“Kalian harus mati!!!”
Suara samar – samar itu mendadak
terdengar di telinga kami. Suara yang terdengar jauh tapi sangat jelas, dengan
diselingi dengan suara tawa yang menggelegar. Suara khas setan yang sering aku
dengar di banyak film-film horor. Kontan, bulu kuduk kami berdiri mendengarnya.
Tak lama kemudian, dua gadis kecil berbaju putih lusuh
dan berwarna kecokelatan tiba-tiba berlari
kearah kami dari balik pohon beringin yang cabang-cabang pohonnya menjalar
sampai ke bawah itu.
Mereka sampai di depan kami kemudian
memegang tanganku. Tangan mereka sedingin es. Mereka merengek-rengek minta
tolong.
“Kakak... Ayah kami marah – marah,”kata mereka berdua hampir bersamaan
“Kata ayah kami, kami belum boleh minum minuman yang kakak tawarkan tadi, padahal
kelihatannya enak. Sekarang kami boleh minta Kak? Mumpung Ayah lagi pergi,”
Kami berlima melihat mereka dengan tatapan penasaran.
Siapakah mereka sebenarnya? Sampai kami melihat, kedua anak itu menjulurkan
lidahnya ke depan, semakin lama lidahnya semakin panjang mencapai tanah, taring
di mulut mereka tumbuh memanjang ke bawah, kupingnya membesar seperti kuping
kelelawar dan kedua tangan mereka yang dari tadi
memegangku berubah menjadi tulang belulang.
Aku menghempaskan tangan kedua anak setan itu dan berlari
secepat kilat diikuti keempat temanku.
Berlari dan terus berlari sejauh yang kami bisa dengan
penerangan hanya dari redupnya cahaya bulan, menerobos semak belukar dan
akhirnya berhenti karena kelelahan, ngos – ngosan
dengan keringat sebiji jangung membasahi tubuh.
Sayup sayup, terdengar langkah kaki. Tidak hanya langkah
kaki beberapa orang saja, melainkan puluhan orang yang berjalan. Mereka
berbondong – bondong menuju tempat kami. Perasaan lega luar biasa ini sempat
kami rasakan sampai akhirnya kami yang berdiam diri di tempat ini tidak melihat
siapapun, kecuali keranda mayat kuno yang tiba – tiba telah berada di depan
mata waktu itu. Anehnya, kaki kami sama sekali tidak bisa digerakkan, seperti
ada paku-paku besar yang menancap dengan kuatnya pada kaki ini.
Angin yang berhembus kencang, menyibak kain batik penutup
keranda dan menerbangkannya. Sesosok mayat yang tertidur di dalamnya,
terbungkus kain kafan, secara tiba – tiba duduk dan menghadapkan mukanya yang
menjijikkan ke arah kami. Belatung – belatung berjalan merayap di sekitar wajahnya
membuat kami berlima mau muntah. Ada yang memasuki mata kanan dan keluar dari
mata kiri, begitupun sebaliknya. Ada juga yang keluar dari hidung, puluhan
keluar dari mulut dan merayap lagi di sekitar wajah dan menutupi hampir seluruh
wajah si mayat.
Mayat itu mengeluarkan suara yang tersendat-sendat karena
belatung yang memenuhi mulutnya.
“Mau dong, minuman kerasnya... Ayok kita minum
bersama!!!”
Terbukanya mulut si mayat menyebabkan belatung – belatung
itu terlempar, sontak wajah dan tubuh kami, sekarang penuh dengan belatung yang
menjijikkan.
Kami memuntahkan isi
perut masing – masing seketika itu juga yang ternyata sudah bercampur dengan
belatung, darah dan nanah yang kami pun tidak bisa berpikir dari mana datangnya
itu semua.
Seetelah terasa habis, apa yang ada di perut kami, paku –
paku yang semenjak tadi seperti menancap pada kaki, seolah – olah sudah menghilang. Dengan sisa – sisa tenaga yang ada, kami
berusaha lari menjauhi si setan terkutuk itu.
“Aduh, tolong!!!”
Kami mendengar suara Rino, yang merintih kesakitan. Rasa
takut dan ngeri yang masih ada, memaksa kami untuk tidak memperdulikan suara
itu, sampai akhirnya kami berhenti di suatu tempat dan sadar, bahwa Rino sudah
tidak bersama kami lagi. Dia jatuh dan tertinggal dibelakang.
Kami berdebat, akan kembali ke belakang dan mencarinya
atau mencoba mencari jalan pulang saja. Hampir saja, Dodi dan Sandy beradu
jotos, kalau saja Leo yang berbadan paling besar tidak melerai mereka berdua.
Akhirnya kami sepakat untuk kembali ke tempat Roni
terjatuh. Pelan tapi pasti, kami menyusuri jalanan gelap di gunung ini dengan
cahaya lampu senter yang sudah mulai redup menandakan tenaga baterai sudah
mulai habis.
“Kalian tega meninggalkanku sendirian disini!” Roni berteriak
dari kejauhan, memaki – maki kami dengan tetap duduk bersimpuh di tanah.
Aku agak sedikit penasaran dengan tempat ini. Aku sendiri
lupa apakah kami melewati tempat ini atau tidak tadi. Pikiran yang bukan –
bukan ini, aku tampik jauh – jauh. Aku, Dodi, Sandy, dan Leo menghampiri Roni
yang duduk bersimpuh karena luka di betisnya. Kakinya sobek tergores batu
tajam. Luka menganga lebar dan darah terus mengalir membanjiri kakinya. Kami
berusaha mengobati luka yang terlampau parah itu.
Tiga puluh menit berlalu dan
kami pun selesai memperban betis Roni. Tapi sayang, dia tidak bisa berjalan
dengan kondisi seperti itu. Kami meminta Leo yang berbadan paling besar, untuk
menggendong Roni di belakang. Dia tidak
keberatan asal diberi uang yang banyak kalau kami sudah keluar dari
sini.
Aku, Dody dan Sandy berjalan di depan untuk membuka jalan
sedangkan Leo di belakang kami.
“Ron, tubuhmu kok semakin lama semakin berat?” keluh Leo
di belakang kami.
Kami serentak menengok kebelakang dan sangat terkejut
ketika melihat yang digendong Leo bukan Roni, tapi sesuatu yang lain. Tangan,
badan, dan kakinya berbulu lebat, hitam dan busuk baunya. Matanya merah sebesar bola tenis melotot kearah kami. Mulutnya
lebar sampai kebelakang kepalanya.
Dan Leopun tersungkur ke tanah tertimpa makhluk siluman
itu. Untuk kesekian kalinya, kami lari tunggang langgang tanpa tahu arah. Berlari dengan diiringi suara dari
makhluk siluman tadi yang menggelegar seperti petir.
"Kalian manusia sombong... Manusia
hina... Durhaka... Kalian tidak akan keluar dari tempat ini. Kalian akan
menjadi penghuni tempat ini selamanya bersama kamu"
Meskipun gendang telinga kami seakan mau
pecah, kamu terus berlari dan berlari, sampai akhirnya kami bertiga tersesat di
tempat terkutuk ini.
Aku melihat tempat itu dengan tatapan nanar. Hanya ada
pohon – pohon besar yang menjulang tinggi dan semak belukar yang terlihat. Suara-suara mengerikan makhluk
penunggu gunung ini masih terdengar jelas ditelinga kami. Suara wanita menangis
dan tawa cekikikan anak – anak kecil masih membuat bulu kudukku merinding
meskipun dengan tenaga yang hampir habis. Termasuk suara Roni dan Leo yang
menyayat hati. Suara kesakitan karena siksaan yang sangat hebat.
Aku sudah tidak berdaya, tubuhku lemas, jantungku
melemah, nafasku semakin menipis. Hawa dingin ini membuat otak dan tubuhku mati
rasa. Beberapa menit yang lalu, aku masih bisa mendengar hembusan nafas yang
semakin melemah dari Dodi dan Sandy yang berada disampingku. Namun sekarang, aku tidak bisa mendengarnya lagi. Aku melirik tubuh mereka, kaku seperti es,
diam tak bergerak.
Aku mencoba berteriak dengan tenaga tersisa untuk meminta
pertolongan, tapi mulutku sudah tidak bisa terbuka lagi karena membeku. Aku sudah tidak kuat lagi. Aku hanya bisa berharap, semoga besok
pagi ada pertolongan yang datang. Sekarang, aku hanya ingin tidur dan
memejamkan mata sejenak.
Sekian
No comments:
Post a Comment
Menerima segala komentar, saran, masukan dan apapun yang berkaitan dengan tulisan, Agar lebih bisa mengimprove isi dari tulisan...
Ayok... Ramai ramai pada komen ya, agar tetap bisa exist dan lebih semangat update.